Minggu, 13 Februari 2011

My Nabire Diary: Day 2

Bangun, aku kaget dengan kecepatan beradaptasi dengan waktu Papua yang dua jam lebih cepat dari waktu Jakarta. Jam 06.00 WIT sudah bangun (tanpa bantuan alarm!). Mungkin karena kebelet buang air kecil, mengingat kipas di langit-langit berputar penuh emosi. Badan masih menyangkal, "Yang bener aja, ini jam 04.00!" tapi apa daya, langit sudah biru cerah.

Abis cuci muka dan gosok gigi, langsung ke Asrama Gilgal. Cuma semenit dari Asrama Anugerah, tempat aku inep.

Malu deh, anak-anak sudah bangun lbh duluan. Mereka berisik dengan tawa. Mereka sedang menjalani menit-menit terakhir rutinitas pagi: bersihkan halaman, sapu lantai, pel lantai, cuci piring, kasih makan itik, jemur baju-baju. Mereka pun berebutan mandi.

Morning has broken, itik has spoken...

Jam 06.30 mereka kumpul dengan manis di dapur. Semua 52 anak. Luar biasa!

"Anak-anak ini kebanyakan berasal dari Sugapa," jelas Pak Arwam, bapak asrama yang sudah 15 tahun mengabdi. Sebelum kata-kata meluncur dari mulutku, Pak Arwam menjelaskan, "Sugapa itu 1 jam penerbangan dari Nabire, lokasinya di pedalaman di pegunungan Puncak Jaya. Lokasinya sulit dijangkau dan kebanyakan penduduk aslinya kurang peduli terhadap pendidikan dan kesehatan."

jadi inget artikel pendaki yang berusaha capai Puncak Jaya lewat Sugapa. "Kota di atas Awan."

Jadi, mereka masuk sekolah-asrama (TK) di Sugapa, baru kemudian SD dan seterusnya di Nabire untuk akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Itu kesimpulan obrolan dengan Pak Arwam.

"Sa pi sekolah dulu Bapa!" salah satu dari mereka berpamitan pada Pak Arwam dengan senyum lebar. Maksudnya: sa(ya) p(erg)i sekolah...

(murid-murid SD di asrama Gilgal: habis kerja pagi, makan. not pictured: segelas tinggi susu hangat untuk tiap anak)

Di samping asrama berdiri TK yang juga didirikan Daniel Alexander dkk. TK ini terbuka untuk umum. sempat lihat-lihat, sebelum lanjut ke SD, SMP, dan SMA.

Rabu itu, murid-murid pakai baju merah-putih. Bedanya, seragam putihnya bermotif batik papua: ada cenderawasih, perkusi, dan logo sekolah. Kelasnya bersih dan penuh suara (walau bukan kategori berisik): gaya bicara mereka cepat, tinggi, dan aku suka logat mereka yang--menurutku--melodius.

Intip guru-gurunya yang lagi ngajar, juga main ke ruang guru. Di situ baru tahu, meski ini sekolah Kristen, murid-muridnya pun ada yang Islam dan Buddha. Sekolah ini punya aula gede, perpus, ruang musik, ruang komputer, dan kantin. Ada lapangan voli pun. Jam istirahat, nyaris semua anak cowok main sepakbola.

 [Rendra lagi ngajar Matematika (kiri); Kak Yoke (guru senior) & Obet (calon guru asal Kalbar) di depan piala-piala yg dimenangkan anak-anak SD di berbagai events di luar program sekolah)

Abis itu, lanjut ke SMP dan SMA di depan SD. Bangunannya dua lantai, bentuk persegi, atapnya tertutup, jadi angin gak akan mengacaukan permainan badminton mereka (ada dua lapangan). Lagi jam serius, jadi berjingkat-jingkat supaya nggak ganggu...

[SMP n SMA Anak Panah, dua sekolah ini termasuk 160 sekolah model nasional se-Indonesia]
 [SMP (lt bawah) dan SMA (lt atas); Chahyo (guru Fisika-Matematika) asal Surabaya]

Abis makan siang, nemu spot favorit untuk bersantai di siang yang terik: DPR aka di bawah pohon rindang. Yah nggak rindang banget sih, tapi pohon kersen ini lumayan teduh. buka The Malay Archipelago yang tak kunjung habis itu. skip dari Sulawesi ke Papua. Tampaknya, Alfred Russell Wallace punya petualangan seru di sini....

Agak sore...jam pulang. Anak-anak girang luar biasa. Besoknya libur...Itu sebabnya. Aku ngopi dan makan sagu batangan ("sago brick", begitu istilah AR Wallace).... Lucunya, aku juga baru aja selesai baca bab ilustrasi AR Wallace tentang pembuatan sagu zaman 1870-an (yang menurut Pak Ernest masih tetap spt dulu). Celup sagu, sruput kopi...

Beberapa guru gabung nongkrong di bawah pohon, sambil berbagi cerita yang bikin pipi penat akibat tertawa terus...


Malamnya, diundang Pak Novi (Bapak Asrama Anugerah) untuk gabung ke petemuan kaum pria. Ini adalah pertemuan ibadah yang pesertanya cowok only. Buat yang jarang ke gereja (moi), ini adalah pengalaman baru yang menyenangkan.


Apalagi di akhir acara, dihidangkan ikan tuna bakar, ubi kuning, dabu-dabu, tumis bunga pepaya, dan jeruk nabire yang tenar itu.... sedaaaap!! Manusia memang tak bisa hidup dari roti saja.

2 komentar:

Umi mengatakan...

kalo terpaksa bisa kok sem hidup dengan roti, hahaha...

*bread lover

SemSa mengatakan...

nggak bisa Umi, manusia tidak bisa hidup dari roti saja....

Masih ada ubi kuning, sagu batangan, papeda, ubi jalar.... *kampanye diversifikasi karbohidrat selain nasi*