Rabu, 15 Januari 2014

Semakin Basah, semakin...Basah



Hujan. Basah. Seminggu di Lombok, tiada hari tanpa hujan pas liburan dengan trio A: Agus, Ayu, Acionk. Tapi, semangat kita tidak luntur disapu hujan.


Pertama kali buatku liburan di pulau ini. Aku suka pesisirnya yang berteluk-teluk. Cekung-cekung itu memberi tempat untuk pantai-pantai yang indah. Kita naik motor dan menyusuri jalan-jalannya yang penuh tantangan—terutama buat Agus (dia bonceng aku, that explains...) Selain itu, kita sering mengalami “intervensi hewani” karena banyak ayam, anjing, sapi, kambing, dan kerbau turun ke jalan....



Oh ya, bolehlah aku memakai istilah “intervensi ilahi” untuk menyebut jeda terang di musim penghujan. Kita tetap bisa menikmati libur walau awan gelap menggantung di atas kepala.


Empat hari di pulau utama, kita pergi ke Tanjung Aan, Senggigi, Kuta, dan sebuah teluk yang permai betul. Hari itu, kita menuju Blongas. Jalannya, wah, menantang, menukik, menanjak, dan…rusak. Kita sangat terguncang—dalam makna sebenarnya.

Akhirnya, jalanan mulus juga. Di satu puncak bukit, kita terpesona melihat sebuah teluk yang indah. Pantainya pasir putih dan ada sand bank-nya dan petak-petak rumput laut. Kita bermain-main di situ. Seru betul.

Setelah bertahun baru di Kuta, kita ke Gili Trawangan. Pulau cukup luas dan punya bukit. Seru walau sangat modern. Banyak toko keperluan dan mesin ATM! Ketika masuk air, kulihat banyak ikan. Terumbu karangnya banyak, namun tidak sedikit pula yang rusak. Menariknya, di pulau ini, kapal dilarang buang jangkar dan orang mulai menanam koral sebagai usaha konservasi.

Teman-teman semua bilang, mereka melihat penyu di laut. Sementara aku? Tak seekor pun! Ke mana penyu-penyu? Akhirnya kusimpulkan, hanya kaum beriman yang bisa melihat penyu di sini….

Kita suka tempat-tempat nongkrong di pualau ini. Tidak sedikit yang kemahalan, tapi kita menemukan juga tempat-tempat yang sajikan menu enak sesuai harga.

Pagi terakhir di Gili, Agus ajak aku masuk ke air. Sebenarnya, aku malas, apalagi telapak kakiku baru saja disengat lebah! Kayaknya, sudah bertahun-tahun lalu sejak pertama kali disengat! Setelah mencungkil sengatnya, aku ambil peralatan dan masuk ke air. Gila, airnya dingin dan arus kencang betul!

Waktu timbul ide untuk naik ke pantai saja, tiba-tiba, Agus memanggil. Dia menunjuk ke bawah. Apa itu? Wow, penyu sisik! Besar pun! Penyu itu sedang mengayuh perlahan ke permukaan dari kedalaman 3 meter. Indah betul penyu dan gerakannya. Aku mempehatikannya sampai dia hilang dari pandangan…. Berbahagialah mereka yang melihat dan percaya!

Ah, akhirnya aku bisa melihat penyu…. Sekarang, bolehlah aku menganggap diri sebagai bagian dari golongan orang beriman!

Senin, 05 Agustus 2013

Adem

Pengin ke tempat yang banyak anginnya dan pohonnya, terus pasang hammock dan berayun-ayun. Nggak peduli kalau pantat kedinginan kena angin!

Take a Bow



Weekending with Cuplis, Sari, Hendra, dan teman-teman Terangi di Pulau Pramuka, 2011.

Java!


Sugar Rush!




Agus melancarkan aksi bersih-bersih di sepetak tanah tempat Bu dan Pak Udin jualan di Pulau Pari. Aku yang pada dasarnya malas gerak jadi takjub melihat adegan ini.

Aku yakin, itu bentuk kepedulian rekanku ini terhadap pulau yang kita singgahi. Pulau ini memang menderita akibat sampah kiriman. Sedih juga melihat tumpukan sampah plastik dan styrofoam mengotori keindahannya….

Pacar Ketinggalan Kereta & “Bukan Pacar tapi Ketinggalan Kapal”



Yang bikin film Pacar Ketinggalan Kereta pasti terinspirasi untuk bikin film berdasarkan pengalamanku dan teman-teman di Pulau Pari: aku, Agus, Ciwit dan Yasa ketinggalan kapal. Jadi, kami cari informasi sana-sini untuk pulang. Di loket dekat dermaga tertulis ada kapal cepat Kerapu dengan kuota enam orang. Kita antre di depan loket penjual tiket, menunggu petugas kembali dari jam istirahat.

Kedua petugas itu datang dan kita tanya-tanya. “Kapal Kerapu diutamakan untuk pribumi,” kata penjual.

“Maksudnya pribumi?” tanyaku.

“Orang pulau sini,” jawabnya, “Sudah ada empat orang yang pesan. Dua lagi pun sudah dipesan.”

Oke kalau begitu. Memang layak penduduk lokal pulau diutamakan. Lalu, aku tanya lagi, “Jam berapa kapal penumpang biasa yang bukan kapal cepat besok berangkat?”

“Nggak tahu,” jawab penjaga itu.

“Lho bukannya Mbak petugas di pelabuhan ini. Masak tidak tahu?” tanyaku.

“Nggak tahu,” jawab dia lagi sambil terus memandangi ponselnya.

“Kalau pesan tiket Kerapu besok pagi bisa Mbak?” tanyaku lagi.

“Nggak tahu,” jawab dia lagi sambil terus memandangi ponselnya.

“Oh, oke,” sahutku. It was so fucking frustrating to talk to ignorant people. Mereka kerja di pelabuhan sekecil itu tapi tidak tahu info kapal? Nggak masuk akal. I smelled something fishy. Aku pikir aku saja yang diperlakukan begitu. Ciwit pun ternyata juga dapat perlakuan yang sama waktu dia bertanya ke kedua wanita itu. Setelah itu, ada semacam calo kapal menawarkan naik Predator, kapal cepat yang lebih cepat dari Kerapu. Dia jual tiket Rp 175.000. Terlalu mahal untuk kita terlebih lagi uang tunai kolektif kita tidak sebanyak itu.  

Ada seorang ibu pemilik warung di samping loket yang mendengar pembicaran ini. Dia panggil kita dan kasih banyak info soal kapal. Bahkan ibu ini tahu informasi lebih banyak soal kapal daripada dua penjual tiket itu. Luar biasa. Ibu yang baik. Penduduk pulau yang baik!

Akhirnya kami menumpang kapal ke Tanjung Pasir, Tangerang. Lumayanlah hahahaha….walaupun harus berganti lima kendaraan untuk sampai kosku! Hahaha….