Minggu, 20 Februari 2011

My Nabire Diary: Day 5

06.00. Pagi ini asrama sepi. anak-anak banyak yg masih tidur. Hari ini libur. Libur apa, aku tanya. "Ini hari Injil Masuk tanah Papua, kaka." kata salah satu yg sudah bangun

Lucunya, pagi itu pas baca The Malay Archipelago sambil minum kopi, aku baca Wallace menulis tentang pelayarannya ke Papua. Dia mendarat dan diundang makan oleh Otto dan Geissler, dua misionaris yg datang ke Papua tahun 1855. wow, it's a coincidence!

Seperti Wallace, hari itu, aku pun berlayar... kali ini island hopping!

Nunggu kapal isi bensin lama bgt... 1 jam lebih! Untuk isi waktu, aku lihat-lihat sekeliling. Ada liveaboard nganggur di pantai. "Punya pemda," kata pemilik kapal. (Suatu hari, aku bakal keliling Papua naik liveaboard!) Teman-teman ada yg lagi asyik kumpulin benda-benda menarik di pantai. wow, ini pemandangan Stones and Sea: In the beginning, i was counting the stones on a seashore, looking for the precious things...

Saul the boxer nunjukin sesuatu yang bikin aku takjub. Dia pecahkan buah ketapang dan di dalamnya ada semacam kacang, seperti pistachio. "Coba makan," katanya. Hmmm...enak! kok bisa ya?

Aku pun coba mecahkan sendiri ketapang dan makan lagi bijinya. aaah enak! serasa pistachio goreng tanpa minyak!

Belum mecah ketapang ketiga, kapal datang. semua naik. aye aye captain!

Perjalanan 1,5 jam. Pulau Ahe di depan mata, tapi kapal belok ke pulau lain. pemandangannya indah. lagi-lagi kulihat pepohonan kelapa menjulang di antara pohon-pohon lainnya. gak kulihat tanda-tanda ada bakau, tapi tak apa.

gugusan kepulauan ini bagus banget. ada beberapa pulau kecil yang tampaknya spt limestone, ditumbuhi semak-semak dan pohon kelapa. apa mungkin ini mirip Raja Ampat? pantai-pantainya pasir putih, kontras dengan pantai di mainland yg warna hitam


Kapal menuju pulau yang berpenduduk. Siang itu panas banget, leherku sudah tersengat. terlihat di pantai, penduduknya lagi duduk-duduk di dipan raksasa di pinggir pantai, ngobrol dan tertawa bahagia. laki-laki, perempuan, anak-anak, 20 orang lebih. atap-atap rumahnya seng. Menara gereja terlihat paling menjulang di antara bangunan lainnya.

"Ya, mereka sudah lama tinggal di sini. air tanahnya bagus sekali di sini," sahut Pak Ernest menjelaskan alasan mereka tinggal di pulau, bukan di mainland. "Di samping karena ikan banyak ..."


kapten turun dan bilang, akan ke ketua adat, minta izin masuk Ahe....15 menit kemudian dia balik, bawa kabar: ada bule sewa Ahe. ah well, aku sedikit kecewa.

kapal ke arah utara. "kita ke Pulau Paput saja," kata kak Yoke. Sekitar 20 menit kemudian, di depanku pulau yg berhutan lebat, dipuncaki pepohonan kelapa, tampak tak berpenduduk. pasirnya putih. kapal merapat. di bawah padang lamun, jernih, tapi lantai lautnya tiba-tiba menukik tajam ke kegelapan. berarti jangan jauh-jauh renangnya, Sem, kataku.

pasirnya empuk! jadi tiap melangkah, kakiku terbenam sampai semata kaki...

Semua langsung makan, mengingat ini jam 14.40. Nasi hangat, tumis kacang panjang, dabu-dabu dan ikan goreng. makanan terlezat di pulau itu! ;) emang enak bgt!!!!

Abis makan, istirahat 10 menit, langsung nyemplung. waaaaaa bagus bangett! langsung nemu bintang laut biru. gak lama, angelfish yang gede-gede, teripang, dan....ular laut!!

nemu tiga bintang laut lainnya yang blm pernah kulihat seumur hidup. Seperti gunung, dengan duri-duri tajam di atasnya. yang terakhir malah punya ratusan alat hisap yang menempel kuat di telapak tangan...indah banget!

Ah, maunya sa bawa pulang semua! kataku, berandai-andai.

"Jangan kaka! nanti ko undang hujan besar dan petir!" kata seorang anak kecil.

oh ya? kenapa?

Dia jelaskan kepercayaan orang lokal: kalau ambil biota, laut akan marah, mengirim hujan besar dan petir.

wow.... aku pun menyebutnya kearifan lokal...

15.30, kami pulang...singkat memang, tapi aku senang. lain kali, aku kembali!

Sabtu, 19 Februari 2011

My Nabire Diary: Day 4

Bangun kepagian lagi. Aku masih merasa ini 3.30 WIB. Denial. Apa daya, langit memang sudah terang dan bilang, ini 5.30 WIT!

Masih lengang. Aku naik mikrolet ke Pantai MAF. Perjalanan cuma 5 menit! ini adalah pantai yg terletak di jantung kota, pinggir pantai, dan sangat tipikal pantai turis: pinggirnya dibentengi (karena ombaknya abrasif dan termasuk garang), pinggirnya penuh warung baik permanen maupun semipermanen.

Heran. Orang-orang sepagi ini juga sudah memadati pantai. beberapa jogging, anak-anak malah banyak yang berenang padahal ombak besar, lainnya bersantai di tepi pantai. aku sendiri termasuk yang terakhir. Pantainya tidak mengundang, jadi aku cari keriaan lain.

Kulayangkan pandanganku ke gunung-gunung, dari manakah datangnya...pesawat itu? Ada pesawat kecil dari arah gunung, menuju ke arah laut, terus berputar ke arah gunung dan mendarat. Keren difoto! kulihat pesawat mengarah ke ujung runway, trus tiba-tiba belok kiri....

Ke mana? ternyata pesawat parkir di halaman belakang MAF. Hahaha lucu banget. kayak mobil aja! Cita-citaku naik helikopter sudah terpenuhi. Sekarang aku pengin bgt naik pesawat kecil ke daerah2 terpencil...

Setelah bosan karena tak kunjung ada pesawat yang mendarat atau take-off, aku jalan ke arah pulang. berharap ada yang menarik utk dilihat. kira2 500 m dr pantai ada jembatan menuju ke pasar, sblm aku sebrang, ada mobil pickup biru berhenti, menghalangi jalan. "Pak Novi!" sapaku. Bapak Asrama Anugrah ini tampaknya baru selesai belanja di pasar utk kebutuhan asrama. aku pun naik ke back pickup. hepi banget...

Siangnya, aku diajak Pak Novi lihat asrama-asrama siswa yg lain, juga lokasi Rumah Kesembuhan (Rukes). Lucu sekali: Rukes adalah "rumah sakit" dengan konsep yang sangat ceria: akan dibangun di tepi pantai, banyak pohon buahnya, dan nanti pasien-pasien akan dilibatkan di program-program yang bertujuan utk bikin mereka hepi dan sehat lagi.


Setelah itu, kita ke satu TK yg juga dikelola Pesat (Pelayanan Desa Terpadu). Dari situ, aku minta tolong Pak Novi antar aku ke Pak Elia. Oom Dan bilang ke Pak Pardede, bawa si Sem ke Pak Elia. Oom Dan bilang, Pak Elia teman Pi n Mi. Aku sendiri nggak ingat dia sama sekali, tapi karena ingat pepatah, "jangan lupakan teman-teman bapakmu", aku pun ke sana.

Rumah Pak Elia rumah kayu manado, seperti banyak rumah lainnya di Nabire. Aku jadi pengen punya rumah spt ini: ringkas, artistik, dan adem! Pak Elia pernah tinggal di Malang akhir 1980-an. Kupikir, dia teman Pi wkt ke Papua di tahun 1980-an. Pak Elia cerita pengalamannya di Jawa dan menyebut nama-nama yang familier. Ternyata, Pak Elia pernah bikin kapal di Malang. Ya, waktu kecil, aku sempat ternganga dengan hebatnya melihat ada kapal yang masif (bukan kapal kayu) yg dibangun di tengah kota Malang. Kapal itu ukuran sekitar 15 m, dua dek dan kokoh banget. Sampai sekarang pun aku nggak habis pikir!



Sorenya, teman-teman ajak lagi ke pantai. Agak malas, tapi aku dengar mereka sudah nunggu aku dari pagi, siapa yang berani nolak? gelombang masih gede tapi anak-anak asrama dengan santainya lari-lari dan lompat, menerjang ombak. "Ayo kaka! mari sini!"

mereka semua ahli berenang, sementara aku nggak mau dalam-dalam mengingat arus balik ombak lumayan kencang. lucunya, kok ya ada guling jumbo yang dijadikan pelampung. biar ada lima anak pegangan, guling itu tetap ngambang. jadi, aku ikutan pegangan. seru juga dibuai ombak.

abis itu, main bola! seru juga sepak bola di tepi pantai. walau tentu aja, aku cuma nendang bola yang out. malas lari-lari! lucunya, anak-anak senang banget terjang ombak. asal ada ombak besar, mereka bisa dengan cueknya meninggalkan bola dan langsung lari ke ombak yang tinggi dan volumenya besarr! hebat bener! Ya iyaa lah, mereka besar di pantai ini. laut adalah taman bermain mereka!


sorean, laut mulai tenang. aku bangkit dari pasir dan berniat bersihkan pasir yang nempel di badan. nyemplung, kok nggak ilang juga. akhirnya aku berenang agak dalam. tiba-tiba anak-anak bersorak girang, "oooombaaak!!"

sialnya, ombak ini dua kali lebih tinggi dari aku. Di depan mata pula! sialnya, aku nggak bisa lari! jadilah aku digelandang ombak. dalam hitungan detik, aku digulung ke depan, kaki menantang langit, kepala di bawah... Aku panik cari pegangan yang tentu aja nggak ada. Duh, jangan sampai aku eseret ke laut! 

benar aja, aku mendarat di kerikil pantai. tangan kanan baret-baret. 


Aku buru-buru merangkak ke daratan. Bukannya dibantu, anak-anak serempak tertawa girang....

and that's how i earned their respect ... senang bisa menghibur, ha!

Senin, 14 Februari 2011

My Nabire Diary: Day 3

Bangun jam 05.30 WIT alias 30 menit lbh duluan daripada alarm, ini bikin aku ngerasa dikhianati ;) Di luar hujan. Kata orang, bukan sinchia namanya kalau nggak ujan deras...

Turun, mandi, terus bikin kopi. Hawanya bikin ngantuk... Alex dan Kezia sudah bangun, nonton TV sambil soal rencana main ke pantai. Aku sendiri nggak yakin, mengingat hujan nggak kunjung kelar.

Debur ombak terdengar jelas banget. stereo. bikin merinding aja, mengingat laut cuma 100 meter dari asrama.

Menjelang siang, Kak Sam dan Kak Yoke konfirmasi, rencana ke pantai tetap ada. Yess! "Ayo Sem, siap-siap kita!"

Nggak tahu aja, aku udh siapkan baju ganti, snorkel, dan masker. siap kapan pun nyebur. Jam 11, masih hujan, kami berangkat dengan Rian, Obet, dan Daniel.

Aku duduk di depan dg Kezia dan pak supir yang bekerja mengendalikan kuda besinya supaya baik jalannya... ini kasih gue keuntungan utk lihat Nabire dengan leluasa.

Pertama-tama, beli jeruk nabire yang kondang itu di Wonorejo. Nama yang sangat jawa! jeruk ini istimewa: ukurannya medium, kulitnya sangat tipis, dagingnya oranye muda, rasanya manis-asam-segar. lebih banyak manis dan segarnya.



Selanjutnya ke rumah Mbak Linda yang jual kebutuhan untuk berkebun: bibit, alat-alat, pupuk dsb. Mbak Linda adalah teman Kak Yoke. Dia bawa serta dua orang lainnya.

Sepanjang jalan, kanan-kirinya hutan. Kiri ke arah pantai, kanan ke perbukitan yang penuh hutan lebat. Aku belum pernah lihat yang seperti ini, jadi aku pun berusaha mengingat-ingat di mana lokasi lain yang mirip dengan ini. tentu aja nggak ada.

setiap lewat jembatan, aku tanya, "ada buaya muara di sini?" Reptil menawan--dan menakutkan--ini ternyata sudah jarang ditemukan di Nabire.

di samping kiri, pantai sesekali terlihat di balik rimbunan vegetasi. sementara itu, gerimis masih saja awet membasahi bumi Papua...

Setelah satu jam, beberapa kali jembatan dan belokan, sampailah di pantai Nusi. Di seberang, Pulau Nusi terihat jelas. Pulau seukuran (sekitar) dua kali lapangan bola, penuh pohon kelapa yang menjulang di atas pepohonan lainnya. Ada atap rumah terlihat mengintip di balik rimbunanya pepohonan. Ah, andai aku bisa ke sana!


Sebenarnya Alex pengen ke Lagari, tapi karena sudah sore, akhirnya mobil kembali, meluncur ke entrance Pantai Nusi. Karena ini hari libur, pantai cukup ramai. Langit di atas kepala sedikit redup, sebenarnya malas juga nyemplung mengingat pasirnya hitam dan hanya sedikit yang berenang. Tapi mengingat udah jauh-jauh kemari... Ganti baju, langsung bawa snorkel n goggle masuk air yang ademmm!

ternyata visibility bagus walau pasirnya hitam. di bawah ternyata padang lamun. rumput lautnya mirip daun-daun lilium atau amaryllis: panjang dan tebal. juga berlendir. Jarak 5 m dari pantai, aku sudah nemu teripang!

belum apa-apa, aku ngerasa ada yang aneh! kenapa udara beraroma hmmm apa ya? kapur barus!!!

ternyata, snorkel pinjaman Ocha ini wangi kapur baruss..... makanya dada sesak! lepas dan bilas snorkel dengan air laut, ulang-ulang. hasilnya?? masih wangi aja!


Akhirnya aku tetap bisa nikmati pemandangan bawah laut dengan aroma asing ini :) kulihat karangnya besar-besar tapi mati, terserak luas. tapi di sela-selanya tumbuh koloni karang sebesar telapak tangan. beberapa di antaranya adalah karang api... ini adalah tanda-tanda regenerasi. ikan-ikan sangat jarang terlihat. mereka berukuran kecil! tak sampai sepanjang 15 cm! bahkan ikan-ikan kakatua sangat kecil. tak mengapa. ini pun tanda-tanda regenerasi.

Benar saja, Kak Yoke, mantan peneliti WWF konfirmasi, dulu orang suka memakai bom untuk tangkap ikan. kini sudah dilarang. bagus lah!

Setelah itu, makan siang di sebuah "warung jawa". aku pesan mujair goreng plus nasi yang di luar dugaan sangat enak. ikannya pun besar, setelapak tangan. sambalnya nikmat. lalapannya seperti belum pernah kutemui sebelumnya: terong goreng, kemangi, timun...sedap!


Setelah itu, pulang.... melelahkan, tapi seru!! 

Minggu, 13 Februari 2011

My Nabire Diary: Day 2

Bangun, aku kaget dengan kecepatan beradaptasi dengan waktu Papua yang dua jam lebih cepat dari waktu Jakarta. Jam 06.00 WIT sudah bangun (tanpa bantuan alarm!). Mungkin karena kebelet buang air kecil, mengingat kipas di langit-langit berputar penuh emosi. Badan masih menyangkal, "Yang bener aja, ini jam 04.00!" tapi apa daya, langit sudah biru cerah.

Abis cuci muka dan gosok gigi, langsung ke Asrama Gilgal. Cuma semenit dari Asrama Anugerah, tempat aku inep.

Malu deh, anak-anak sudah bangun lbh duluan. Mereka berisik dengan tawa. Mereka sedang menjalani menit-menit terakhir rutinitas pagi: bersihkan halaman, sapu lantai, pel lantai, cuci piring, kasih makan itik, jemur baju-baju. Mereka pun berebutan mandi.

Morning has broken, itik has spoken...

Jam 06.30 mereka kumpul dengan manis di dapur. Semua 52 anak. Luar biasa!

"Anak-anak ini kebanyakan berasal dari Sugapa," jelas Pak Arwam, bapak asrama yang sudah 15 tahun mengabdi. Sebelum kata-kata meluncur dari mulutku, Pak Arwam menjelaskan, "Sugapa itu 1 jam penerbangan dari Nabire, lokasinya di pedalaman di pegunungan Puncak Jaya. Lokasinya sulit dijangkau dan kebanyakan penduduk aslinya kurang peduli terhadap pendidikan dan kesehatan."

jadi inget artikel pendaki yang berusaha capai Puncak Jaya lewat Sugapa. "Kota di atas Awan."

Jadi, mereka masuk sekolah-asrama (TK) di Sugapa, baru kemudian SD dan seterusnya di Nabire untuk akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Itu kesimpulan obrolan dengan Pak Arwam.

"Sa pi sekolah dulu Bapa!" salah satu dari mereka berpamitan pada Pak Arwam dengan senyum lebar. Maksudnya: sa(ya) p(erg)i sekolah...

(murid-murid SD di asrama Gilgal: habis kerja pagi, makan. not pictured: segelas tinggi susu hangat untuk tiap anak)

Di samping asrama berdiri TK yang juga didirikan Daniel Alexander dkk. TK ini terbuka untuk umum. sempat lihat-lihat, sebelum lanjut ke SD, SMP, dan SMA.

Rabu itu, murid-murid pakai baju merah-putih. Bedanya, seragam putihnya bermotif batik papua: ada cenderawasih, perkusi, dan logo sekolah. Kelasnya bersih dan penuh suara (walau bukan kategori berisik): gaya bicara mereka cepat, tinggi, dan aku suka logat mereka yang--menurutku--melodius.

Intip guru-gurunya yang lagi ngajar, juga main ke ruang guru. Di situ baru tahu, meski ini sekolah Kristen, murid-muridnya pun ada yang Islam dan Buddha. Sekolah ini punya aula gede, perpus, ruang musik, ruang komputer, dan kantin. Ada lapangan voli pun. Jam istirahat, nyaris semua anak cowok main sepakbola.

 [Rendra lagi ngajar Matematika (kiri); Kak Yoke (guru senior) & Obet (calon guru asal Kalbar) di depan piala-piala yg dimenangkan anak-anak SD di berbagai events di luar program sekolah)

Abis itu, lanjut ke SMP dan SMA di depan SD. Bangunannya dua lantai, bentuk persegi, atapnya tertutup, jadi angin gak akan mengacaukan permainan badminton mereka (ada dua lapangan). Lagi jam serius, jadi berjingkat-jingkat supaya nggak ganggu...

[SMP n SMA Anak Panah, dua sekolah ini termasuk 160 sekolah model nasional se-Indonesia]
 [SMP (lt bawah) dan SMA (lt atas); Chahyo (guru Fisika-Matematika) asal Surabaya]

Abis makan siang, nemu spot favorit untuk bersantai di siang yang terik: DPR aka di bawah pohon rindang. Yah nggak rindang banget sih, tapi pohon kersen ini lumayan teduh. buka The Malay Archipelago yang tak kunjung habis itu. skip dari Sulawesi ke Papua. Tampaknya, Alfred Russell Wallace punya petualangan seru di sini....

Agak sore...jam pulang. Anak-anak girang luar biasa. Besoknya libur...Itu sebabnya. Aku ngopi dan makan sagu batangan ("sago brick", begitu istilah AR Wallace).... Lucunya, aku juga baru aja selesai baca bab ilustrasi AR Wallace tentang pembuatan sagu zaman 1870-an (yang menurut Pak Ernest masih tetap spt dulu). Celup sagu, sruput kopi...

Beberapa guru gabung nongkrong di bawah pohon, sambil berbagi cerita yang bikin pipi penat akibat tertawa terus...


Malamnya, diundang Pak Novi (Bapak Asrama Anugerah) untuk gabung ke petemuan kaum pria. Ini adalah pertemuan ibadah yang pesertanya cowok only. Buat yang jarang ke gereja (moi), ini adalah pengalaman baru yang menyenangkan.


Apalagi di akhir acara, dihidangkan ikan tuna bakar, ubi kuning, dabu-dabu, tumis bunga pepaya, dan jeruk nabire yang tenar itu.... sedaaaap!! Manusia memang tak bisa hidup dari roti saja.

Jumat, 11 Februari 2011

My Nabire Diary: (still) Day 1

Sampai jam 12.00, matahari terik luar biasa. Langit biru cerah (sesuatu yang jarang terjadi di Jkt yg langitnya kerap putih). Dijemput Pak Pardede (yang ternyata suami Kak Hana "Putri Nabire") ke rumah Pak Edo.

Di jalan, aku toleh kanan-kiri. Di luar dugaan, Nabire modern banget! Ada banks, CFC, supermarket, pasar modern, jalan besar (avenue), warung lamongan, warung padang...dll.  Mau cari apa aja ada! jadi inget Cilacap yang juga di pesisir.

Pak Edo punya anjing kecil yang lucu. Sebelum kenalan, dia sudah mengunyah sepatu kanvasku. sopan! :) Diajak salaman, malah gigit! Begitu digendong, baru bersikap manis.


"Ayo, saya antar kamu ke Kalibobo," kata Pak Edo.

Ada apa di Kalibobo? 

"Sekolah dan asrama."

Selama bertahun-tahun, aku dengar tentang perjalanan Daniel Alexander di Papua, termasuk waktu dia diwawancarai Kick Andy bareng pilot yang jadi CNN Hero dan Anne Avantie. Tentuuu pengen lihat sendiri secara langsung.

Ini lah yang selama bertahun-tahun aku dengar:


Daniel Alexander pertama kali ke Papua tahun 1990. Sebelumnya, dia kenal Papua (saat itu Irian Jaya) dari buku-buku. Dia sangat suka alam Papua (sebagai penyuka fotografi, tentu Papua kasih banyak objek untuk diabadikan) dan pada saat yang sama heran terhadap keberadaan orang-orang Papua yang masih terbelakang di tanah mereka sendiri yang begitu kaya mineral dan subur. 


Dia pun putar otak dan menyimpulkan, pendidikan adalah kunci kemajuan Papua. Bagi Daniel--seorang pendeta--mendirikan sekolah-sekolah jauh lebih relevan daripada mendirikan gereja. 

Dia lihat, banyak anak nggak ke sekolah karena orangtua sering menyuruh mereka ikut berladang atau melaut. 

Akhirnya, dia dibantu teman-temannya, bikin formula sekolah gratis berasrama. Gratis supaya orangtua  nggak terbebani. Asrama supaya anak-anak fokus belajar saja. Hari minggu, mereka boleh pulang ke rumah. Daniel buka TK pertamanya tahun 1995 di Nabire. 

Tahap demi tahap, dia buka SD, lalu SMP, dan bahkan SMA! Nama SMP dan SMA ini unik: Anak Panah. "Anak-anak ini ibarat anak panah yang perlu dibentuk, dipoles, dan diuji, supaya ketika dibidikkan, anak panah itu sampai sasaran," kata Daniel. Angkatan pertama TK itu sudah kuliah, tersebar di beberapa kampus di Jawa. "Mereka akan terus maju dan kembali untuk membangun Papua," jelas Daniel yang bersama timnya, kini juga mengelola beberapa sekolah di pedalaman Sugapa, pedalaman Memberamo, dan Freeport.


Perjalanan 15 menit ke Kalibobo, masuk lewat Gang Anak Panah ke lokasi SD Agape juga SMP dan SMA Anak Panah, juga empat asramanya. Bangunan sekolahnya dua lantai dan modern banget. "Semuanya bangunan tahan gempa," jelas Kak Yoke, pengajar dan pembina. Itu alasan sekolah tetap kokoh saat Nabire diguncang gempa hebat tahun 2004. Siang itu, pelajaran masih berlangsung, dan aku bisa dengar suara anak-anak belajar di kelas-kelas. 

(lengang waktu jam pelajaran dan riuh pas jam istirahat. Don't we all love break time?)

Diantar Rendra, salah satu pengajar dan pembina, ke kamar di asrama cowok. Jam makan siang, walau arlojiku masih nunjukin jam 11.00 (belum dimajukan 2 jam).

Semua lagi sibuk dengan urusan sekolah, jadi aku dipersilahkan istirahat. Tujuh jam flight emang melelahkan, tapi rasanya ada yang manggil-manggil. 

Deburan ombak terdengar jelas dari sini. Di mana pantai? Ternyata cuma 100 meter dari sekolah!! langsung ke sana.

Woooow pantainya seru! pasirnya hitam tapi ombaknya mengundang, seperti  Kuta!

Nggak jauh, ada sekumpulan anak kecil yang lagi renang di dekat kapal yang buang jangkar. Haii, boleh ikut? "Boleh, kaka!" kata mereka. 

Aku gantungkan tas dan kacamata. Eh ada satu bapak datang. "Sodara siapa? Mo apa?" tanyanya, wajahnya lempeng.

"Eh... saya Sem, tinggal di Sekolah Anak Panah. Saya mau berenang. Boleh ya Pak?" kataku, hati-hati.

"Oh, silakan," jawabnya dengan wajah (masih) lempeng. Lega deh. 


langsung terjun...

My Nabire Diary: Day 1

Nggak terlintas di pikiran, aku bakal libur ke Papua dalam waktu sedekat ini. Beberapa barang memang sudah distok di tas, dengan pemikiran untuk hemat tempat. Tapi, sore itu, waktu aku baru aja tarik selimut, telepon berdering. Oom Dan!


Aku ke luar kamar biar bisa dengar suaranya lebih jernih. Saking kaget, nyaris terpelanting di lantai yang baru dibasahi hujan. Aku hanya tertawa lepas, setengah nggak percaya. Berarti… aku cuma punya setengah hari untuk berkemas!

Ocha menyahut di telepon, berbaik hati backpack-nya dipinjam (tasnya keren bener!). Pun snorkel hitamnya. Snorkel jelekku yang kubeli karena ngiler harga murah rusak. 



Semalam-malaman, aku bongkar-pasang, muat-buang sampai ketiduran. Bahagia... What have I done to deserve this?

Sekalian aku bawa dua tas besar ini ke kantor. Teman-teman pikir, si Sem bercanda sampai aku panggul backpack, pamitan sambil berterima kasih.

Jam 21.00 di konter check in. girang karena backpack boleh dibawa ke kabin walau harus mengalami kejadian lucu. 



Waktu mau masuk gate, tas di-scan.

Petugas: “Mas tolong buka tasnya! Ada benda panjang di dalam.”

S: (sedikit bingung, menduga itu besi rangka backpack): Oke mas. (membuka, menarik keluar snorkel dengan napas lega) Buat menyelam mas.

Petugas: (Membengkok-bengkokkan snorkel, menyerahkannya ke satu petugas lain yang juga membengkok-bengkokkan snorkel. Snorkel akhirnya dikembalikan) Terima kasih

Hahaha. Lain kali snorkel masuk bagasi aja kali ya? Masih ada 4,5 jam sampai terbang dini hari. Kak Es isi 22 menit. Pembicaraan telepon yang menyenangkan, sejenak lupa ada backpack 7 kg di punggung. Dua gelas Milo hangat kemudian, ground staff memanggil. Dapat duduk di pinggir jendela. Yes!

Bangun. Eh sudah jam 07.00 WIT! Ada pulau sangat besar di bawah sana. Pulau itu berlalu dan muncullah pulau berikutnya. Tepiannya penuh rumah. Perahu-perahu nelayan tersebar di pantainya... indah banget. Pesawat menyusuri pulau sampai mendarat mulus di Ambon. Bergegas transit.


Dapat tempat duduk pinggir jendela lagi. Luar biasa! Pemandangan indah banget. Satu setengah jam kemudian, mendarat di Kaimana yang runway-nya pendek. Pesawat parkir. ke luar dan jalan-jalan supaya mengurangi pegel. Sambil foto-foto. Nggak sampai 10 menit kemudian, pramugari manggil, "Mas, masuk! Mau terbang!" 


Satu jam penerbangan, gak lelah melihat pemandangan pulau-pulau kecil berpasir putih, dan rumah-rumah yang terkonsentrasi di pesisir, juga sungai-sungai berair cokelat yg mengular, membelah hutan-hutan lebat... terkagum-kagum. Indonesia bagian Timur sangat eksotis (mengingat ini juga pertama kali ke Indonesia Timur).  


Pesawat bermanuver melingkar, pramugari bilang, sebentar lagi mendarat. Di bawah: pemandangan teluk yang lebar dengan pantai yang digarisi pohon-pohon kelapa. "Nabire, Sem!"